Thursday, June 14, 2012

bisnis dan kenikmatan

"Maria", ia menyebut namanya sambil membalas jabatan tanganku. Buset cakepnya, bisikku dalam hati ketika menatap wajahnya.
"Silahkan duduk dulu, bisa saya selesaikan sebentar pekerjaan saya ?", tanyanya. Setelah mengiyakan aku berjalan ke sofa yang ada di ruangan kantornya. Kuperhatikan ia sedang memeriksa beberapa berkas dan sesekali menuliskan sesuatu. Kutaksir usianya tidak lebih dari 25 tahun, cukup muda untuk seorang direktris yang membawahi sekian ratus orang di sebuah industri garment. Mungkin warisan babenya, pikirku.
Mengenakan blouse putih dengan dilapisi blazer berwarna biru cerah membuatnya tampil matang dan elegant. Rambutnya yang hitam mengkilat dan ikal bergulung-gulung sampai di punggungnya sangat kontras dengan kulit wajah dan lehernya yang putih.
Ops! Dia menatapku dari balik kaca mata baca yang bertengger di ujung hidungnya itu, merasa kepergok sedang memperhatikannya kurasakan warna wajahku pasti sudah merah merona. Dia tersenyum sekilas kemudian meneruskan pekerjaannya.

"Sorry ya, agak lama menunggunya", katanya membuyarkan lamunanku. Kulihat ia berdiri sambil merapihkan berkas-berkas yang ada di mejanya. Sesaat kemudian ia melepas blazernya dan menggantungkannya pada sandaran kursinya, ia kemudian berjalan menghampiri sofa dimana aku duduk. Hmm, 10 cm di atas lutut, pikirku memperhatikan rok ketat yang dikenakannya. Dengan santai ia mengambil tempat duduk di seberang meja di depanku, ia melipat kakinya, rok yang dikenakannya perlahan namun pasti bergerak naik mengekspos pahanya yang padat dan putih mulus. Amboy.

"Aduh sampai kelupaan, mau minum apa nih ?", tanyanya sambil tersenyum meyebutkan beberapa jenis softdrink. Kupilih apple juice. Ia kemudian bangkit dan berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan, ada sebuah kulkas kecil disitu. Kemudian sambil membungkuk ia memilih-milih dari isi kulkasnya, rok yang dikenakkannya lagi-lagi naik memamerkan kemulusan bagian belakang pahanya. Dan di balik rok ketatnya itu membayang bukit pantatnya sangat berisi dan seksi. Aku menelan ludah sesaat. Ia benar-bernar menampilkan sebuah kecantikan dari seorang wanita yang nampak matang.

Setelah meletakkan minuman di meja, ia kembali duduk dan mempersilahkan diriku untuk minum. Sambil mengangkat gelas kuperhatikan kembali ia melipat kedua kakinya. Oh shit ! C'mon man, it's business, rutukku dalam hati mencoba meredam pikiran-pikiran nakal yang mulai menggoda diriku. Aku akhirnya berhasil berkonsentrasi penuh.
Ia kemudian mulai membuka pembicaraan dengan menerangkan maksudnya untuk memakai jasa perusahaanku untuk menerapkan komputerisasi di perusahaannya. Dengan piawai ia menerangkan struktur organisasi perusahaannya dan prosedur-prosedur yang ada pada setiap bagiannya beserta kendala-kendala yang mereka hadapi. Nampaknya ia betul-betul menguasai seluk beluk perusahaan ini. Dari apa yang diterangkannya sudah dapat kutengarai bahwa akselerasi perusahaan ini terhambat oleh kurang cepat dan akuratnya pengambilan-pengambilan keputusan dan itu disebabkan tidak tersedianya informasi yang akurat yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat. Memang sudah waktunya perusahaan ini untuk melakukan komputerisasi, demikian hemat kami berdua.

Hampir dua jam kami berbincang-bincang. Dari menit ke menit suasana percakapan kami semakin lancar dan akrab. Ia kemudian memintaku untuk mengajukan proposal. Kujawab bahwa untuk membuat proposal tersebut aku membutuhkan waktu dan kesempatan untuk bisa melakukan analisa sistem. "Of course, silahkan, mulai besok staff Bapak sudah bisa mulai", jawabnya tangkas.
"Waktu ibu mungkin akan tersita sebagian untuk analisa ini, karena kami ingin hasil analisa kami bisa match dengan pihak manajemen", kataku sambil memasukkan berkas-berkasku ke dalam tas.
"Okay, no problem, disita seluruhnya juga boleh", balasnya setengah bercanda.
Aku mohon pamit darinya, kuulurkan tanganku dan disambutnya menjabat tanganku, "Tolong Bapak nanti bikin appointment dengan sekretaris saya untuk besok jam berapa staff Bapak mau menemui saya, okay ?"
Jabatan tanganku sengaja tak kulepaskan, "Khusus untuk jadwal dengan ibu saya sendiri yang akan turun tangan", jawabku sambil menatap tajam wajahnya, kuremas perlahan tangannya. Ia tersenyum tersipu, kulihat ada semburat merah di pipinya.

Keesokan harinya aku bersama beberapa staff mulai melakukan survey untuk analisa sistem di perusahaan itu.
Maria benar-benar sangat membantu. Ia begitu apresiatif mengimbangi setiap langkah penganalisaan yang kulakukan. Begitu mengasyikkan bekerja bersamanya. Selama enam hari kami secara rutin melakukan survey. Terkadang Maria menemaniku sampai larut malam membahas langkah demi langkah yang akan diambil didalam melaksanakan proyek komputerasi di perusahaannya. Kami berdua semakin akrab, sikapnya sudah lebih santai menghadapiku, tak jarang kami bercanda hingga tertawa terbahak-bahak. Sering dikala menghadapi berkas-berkas tangan kami saling bersentuhan, terkadang ia mencolek lenganku disaat ada yang ingin ia tunjukkan dari suatu berkas, namun semua itu masih dalam batas-batas formal.
Pada hari terakhir kami sudah tuntas menyelesaikan seluruh prosedur analisa, semua data yang diperlukan sudah lengkap terkumpulkan.
"Bu Maria, saya kira sampai hari ini sudah cukup hasil analisa kami", kataku ketika akan pamit.
"I see, berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyusun proposal", tanyanya dengan nada serius.
"Mungkin seminggu", kujawab enteng, sengaja kubilang seminggu, walaupun sebutlnya paling lama dua hari untuk menyusun sebuah proposal dengan data selengkap ini, ingin kulihat reaksinya.
"Harus segitu lamanya ?", tanyanya. Kulihat ada nada harap-harap cemas di suaranya.
"Nggak kok, paling juga cuman dua hari", jawabku sambil tertawa.
"Nah, gitu dong !", sahutnya dengan nada lega dan ceria

Yes, allright! That's the sign, sorakku dalam hati. Sebuah tanda yang mungkin biasa untuk orang lain, namun tidak untuk diriku, aku terlalu hapal untuk hal-hal yang begini. Otakku berputar cepat. Buntu. C'mon ! Pikir, pikir, pikir, bisikku dalam hati mencari-cari sebuah cara. Aha ! Entertainment ! That's the right answer. Adalah hal yang wajar di dalam berbisnis menawarkan sesuatu yang bersifat entertainment untuk lebih memantapkan hubungan. Lunch ! Itu yang paling cocok, pikirku lagi. "Kalau nggak keberatan saya mau undang Ibu untuk lunch siang ini, bersama Bapak juga tentunya", kataku "melepas umpan" sambil menekankan kata "Bapak" dan kutatap wajahnya untuk menyelidiki reaksinya.
"Okay, kebetulan saya sudah lapar juga nih", jawabnya ceria kemudian menelpon sekretarisnya memberitahu bahwa ia akan keluar untuk makan siang.
"Bapak nggak di-calling sekalian Bu ?", tanyaku.
"Ha..ha..ha.. Bapaknya masih belum terdaftar di Kantor Catatan Sipil", jawabnya sambil menonjok perlahan lenganku. Kekakuan sikapnya agaknya mulai mecair.

Dengan menumpang kendaraannya kami keluar dari lokasi perusahaannya. "Mau makan dimana nih ?", tanyanya.
"Terserah Ibu deh, Ibu yang pilih, saya yang bayar".
"Maria".
"Kenapa Bu ?"
"Panggil saya Maria".
"Panggil saya Indra", sahutku pendek membalasnya.
"Saya kan nggak terlalu tua untuk kamu panggil Ibu terus ?", tanyanya dalam nada canda.
Hari itu ia mengenakan kemeja putih tipis dipadu dengan blazer berwarna ungu dan rok mini dengan warna yang sama, rambutnya yang panjang bergelombang itu diikatnya dengan sederhana menggunakan sebuah sapu tangan.
Mataku bergerak turun menatap lehernya, turun lagi ke gundukan bukit dadanya, padat dan berisi, pikirku, kuperhatikan tangannya yang sedang memegang setir, ada banyak bulu-bulu halus disana. Padangan mataku turun lebih jauh lagi ke bawah. Ala mak ! Mataku terpaku pada kedua belah pahanya yang kini terpampang jelas, rok mini yang dikenakannya hampir tak dapat menutupinya, terangkat tinggi sekali hampir mencapai pangkal pahanya. Aduh mulusnya, tanganku bergetar. Wait ! Don't screw up nDra ! That's too fast, hatiku bergolak menahan pikiran nakalku.
"Mau makan di mana nih ?", tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Hah ... apa ?", aku tergagap.
"Jalannya ada di depan, nDra !", ucapnya dengan menahan tawa sambil tangannya dengan lembut memalingkan kepalaku yang dari tadi menghadap ke arahnya.
"Di belakang juga ada kok", sahutku menggoda untuk membuyarkan rasa gugupku. Kulepas dasiku agar lebih santai.

Akhirnya mobil kami berhenti di sebuah rumah makan pilihannya. Ketika hendak melangkah masuk kuulurkan tanganku ke arahnya, ia pun menyambut mengulurkan tangannya dan melingkarkannya di lenganku. Kami berjalan beriringan masuk ke dalam rumah makan itu.
Kupilih meja yang paling menyendiri, kutanyakan jika ia suka.
"No, not there", katanya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum. Kemudian ia berjalan ke arah salah seorang waiter yang sedang berdiri, kulihat ia sepertinya menanyakan sesuatu kepada si waiter.
Ia kemudian melambaikan tangannya kepadaku, kuhampiri dirinya.
"Gimana ?", tanyaku.
"Sini", jawabnya singkat sambil menarik tanganku. Sambil diikuti sang waiter kami berjalan ke sebuah pintu, di dalamnya ada sebuah lorong yang pada salah satu sisinya kulihat ada beberapa pintu yang tertutup.
Si waiter kemudian membuka sebuah pintu sambil mempersilahkan kami untuk masuk. Rupanya itu adalah ruangan VIP.
Tak ada kursi satupun disana, hanya sebuah permadani berbulu tebal, beberapa bantal berukuran besar dan sebuah meja pendek terbuat dari kaca tembus pandang.
Kami memesan makanan dan minuman secara komplit, dessert, main lunch dan appetizer. Setelah si waiter berlalu, Maria melepas blazer dan menggantungkannya di sebuah hanger yang ada di dinding ruangan VIP itu, saat itulah kutahu ia ternyata mengenakan bra berwarna hitam yang nampak membayang jelas di balik kemeja putih tipisnya, membuatku semakin terpesona akan kecantikan dan keseksian dirinya.

Ia kemudian melepas sepatunya, berjalan ke arah meja pendek itu dan duduk dengan melipat kedua lututnya, meraih sebuah bantal dan menyisipkan di belakang punggungnya.
"Gimana, nggak salah kan pilihanku", tanyanya dengan nada riang. "Perfect !", sahutku sambil mengacungkan jempol, kemudian kubuka juga sepatuku, melangkah menghampiri dan duduk berseberangan dengan dirinya. Dari balik meja kaca itu kembali kulihat kedua belah pahanya yang putih mulus terpampang di depan mataku.
"Kok gerah ya ?", tanyanya sambil muatannya mencari-cari letak AC di ruangan itu.
"Masa sih? Kalau buatku udah lumayan nih dinginnya, cukupan", sahutku heran.
Aku kemudian bangkit berdiri, kuhampiri letak AC di ruangan itu dan kuperiksa setelan suhunya, ternyata udah mentok, kuberitahu dirinya. Ketika aku duduk kembali, Maria mengibas-ngibaskan krah kemejanya seolah kegerahan, kemudian ..... melepas satu kancing kemejanya ..... belahan dadanya menyembul ..... hmmm, putih sekali ..... ia menatapku dan tersenyum. Oh boy! What a fucking teaser girl, pikirku dengan dada mulai berdebar-debar.
"Hmm, sekarang baru terasa gerahnya", kataku kemudian kutatap dengan tajam matanya, kugerakkan tanganku ke bagian atas bajuku, dengan teramat perlahan kubuka satu kancing bajuku .... kulihat matanya menyipit .... kubuka satu lagi ..... dan dengan perlahan kusibakkan hingga dadaku terbuka menampakkan bulu-bulu yang tumbuh lebat di sana .... kulihat ia mengigit bibir.
Beberapa saat kami terdiam saling menatap, kedua mata kami saling bergantian menatap .... ke arah wajah .... turun ke dada .... ke arah wajah kembali .... turun ke dada kembali .... kubiarkan ia mengamati sinar mataku yang memancarkan gairah .... sinar matanya pun mengalirkan pesona birahi ....
Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu dan beberapa waiter dan waitress datang menghidangkan pesanan kami, membuyarkan keasyikan kami saling menatap.




Makan siang itupun tak pelak lagi menjadi ajang pertarungan .... antara getar-getar birahi diriku dan dirinya..... Saling melepas panah-panah asmara .... namun kemudian mengelak .... Ahhh, jinak-jinak merpati ! Maria betul-betul menguasai kematangan seorang wanita. Terkadang disaat menelan hidangannya ia sedikit menjulurkan lidahnya yang merah menyala itu, menjilat sesaat bagian bawah sendok makannya, baru kemudian dengan perlahan memasukkan ke dalam mulutnya. Begitu juga saat menikmati buah penutup hidangan, tak jarang ia membiarkannya berlama-lama di depan bibirnya, sambil berbicara ia menjilat dan mengecupnya, baru kemudian memasukkan ke dalam mulutnya dan mengulumnya lebih dulu sebelum menelannya. Semuanya ia lakukan dengan mempesona, tanpa menampakkannya sebagai sebuah kesengajaan, begitu halus dan menggoda. Kuhela napas panjang, dudukku mulai terasa tak nyaman, ada yang memberontak di bagian bawah pusarku. Kurutuki si pemilik restoran yang menyediakan meja menggunakan kaca tembus pandang, kurasa Maria dapat melihatnya , tatapan matanya berulang kali mengarah ke sana.

"Okay ? Cukup ?", tanyaku seolah memberi tanda ajakan untuk pulang.
"Ha ? Eh ... Ya ... Okay ... Nice lunch", jawabnya tergagap.
Aku kemudian bangkit berdiri, tatapan Maria jatuh ke bagian bawah pusarku yang sudah membengkak dan menonjol tak mampu tertutupi oleh longgarnya kain celanaku. Sesaat kemudian sambil tersenyum Maria menjulurkan tangannya sebagai tanda memintaku untuk membantunya berdiri. Dengan sigap kutarik kedua tangannya, ia bangkit perlahan, dan disaat belum berdiri secara sempurna dengan sengaja kuperkuat tarikan tanganku, Maria menjerit lirih karena terkejut dan tak pelak lagi ..... ia terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukanku. Wajahnya hanya sesenti nyaris bersentuhan dengan wajahku.
"Sorry, terlalu keras nariknya", bisikku perlahan sambil tersenyum. "Nakal !", sahutnya lirih sambil memukul dadaku perlahan.
"Masih ada yang lebih nakal lagi", kataku dengan nada menggoda dan menatap tajam matanya.
"Ap...", belum selesai ia berbicara kukecup perlahan bibirnya.
"Kamu ... kamu ...", ucapnya terbata-bata, kedua alis matanya berkerut. "Ssstt ...", sahutku perlahan sambil menutup bibirnya dengan jari telunjukku, kutatap terus wajahnya, ia pun balas menatap, tak lama kemudian kulihat sinar matanya mulai meredup dan semakin meredup .... kemudian terpejam .... bibirnya merekah .... kudekatkan bibirku perlahan-lahan ke bibirnya .... kubiarkan hanya nyaris menyentuh .... hanya beberapa milimeter dari bibirnya .... kunikmati kehangatan napas harum yang keluar dari mulutnya .... kuhirup perlahan ..... Maria membuka sesaat kedua matanya ..... kemudian terpejam kembali ... tangannya meraih leherku dan menariknya .... bibirnya melumat bibirku ....

Cukup lama kami dengan bernafsu saling melumat bibir, hingga nafas kami terengah-engah. Ciuman kami terlepas, kemudian perlahan kudorong ia hingga tersandar di dinding, kutatap lagi wajahnya, tak ada tanda-tanda penolakan. Perlahan tanganku bergerak ke atas, kulepas satu kancing bajunya .... mataku tetap menatapnya .... masih tak ada tanda-tanda penolakan .... kulepas satu lagi .... tiga kancing bajunya terlepas sudah .... kedua tangannya bergerak menumpang pada bahuku dan meremasnya .... kuturunkan sedikit badanku .... bibirku menyentuh pangkal dadanya .... napasnya semakin memburu .... kuturunkan lagi, hingga wajahku persis di hadapan dadanya, kulihat ada gesper di bagian depan bra hitam yang dipakainya. Perfecto ! Kulepas gesper itu .... buah dadanya menyembul keluar .... kudongakkan wajahku untuk menatapnya .... Maria tampak merundukkan kepalanya memandangi ulahku .... masih tak ada tanda-tanda penolakan. Tanganku bergerak turun, meraba kedua pahanya .... sambil menaikkan kembali badanku kuangkat kedua tanganku bergerak naik menyibakkan rok mini yang dikenakannya .... dan lebih naik lagi ke atas .... hingga terhenti pada bukit pantatnya ... Hmm, that's thong, pikirku menebak jenis celana dalam yang dikenakannya karena kurasakan kedua telapak tanganku terasa hangat menyentuh bongkahan daging padat nan kenyal pada pantatnya, tak ada yang menghalanginya.

Wajahku kini berhadapan lagi dengan wajahnya, kepalanya tersandar di dinding, kedua matanya meredup menatapku .... kuremas perlahan bongkahan pantatnya ..... bibirnya merekah .... terdengar rintihan halus dari dalam mulutnya .... kukecup lehernya .... Maria mendesah .... kecupan bibirku berubah menjadi lumatan dan bergerak ke bawah dan semakin ke bawah .... menelusuri pangkal dadanya .... lebih ke bawah lagi .... menuju ke satu arah .... puting susunya yang merah dan sudah runcing mengeras .... ketika bibirku mencapai puting susunya kembali ia merintih .... kukulum perlahan-lahan .... dari dalam mulut lidahku bergerak menyentuh ujung puting susunya .... kemudian menjentik-jentikkannya .... kedua tangannya bergerak meremas rambutku dan rintihannya berubah menjadi erangan ....
Kulepaskan permainan bibir dan lidahku dari puting susunya ... bergerak kembali ke atas .... sambil kuangkat salah satu kakinya dan kutumpangkan pada pinggangku ..... wajahku kembali berhadapan dengan wajahnya .... kedua matanya terpejam .... tanganku yang lain bergerak membuka ikat pinggangku .... kemudian kancing celanaku ... dan menarik turun resletingnya .... perlahan kukeluarkan dan kugenggam Hercules kecilku yang sudah berdiri tegap meregang otot-otot yang memenuhi sekujur tubuhnya ....
Sambil tetap menatap wajahnya kuturunkan sedikit tubuhku .... mengarahkannya ... dan perlahan bergerak naik ke atas .... mencari jalan ke pintu gerbang kenikmatan yang menanti untuk di dobrak .... dengan tangan yang lain kusibakkan celana dalam yang menutupinya .... hingga akhirnya kepala Hercules kecilku berhasil menyentuhnya .... kedua mata Maria tiba-tiba terbelalak sesaat dan kemudian meredup memandang wajahku ..... rasa hangat dari pintu gerbang itu mulai terasa menjalar .... kugerakkan Hercules kecilku untuk mulai mendobrak .... ahhh, sulit .... bagaikan ada perlawanan di balik pintu gerbang itu .... posisi berdiri memang menggairahkan namun juga menyulitkan pikirku .... Maria menggerakkan kakinya lebih naik lagi pada pinggangku .... hmm, rupanya musuh mulai mau bekerja sama pikirku .... kudorong kembali Hercules kecilku .... perlahan namun bertenaga ia mendesakkan kepalanya tepat di belahan pintu gerbang itu .... kudorong lagi .... belahan pintu gerbang itu mulai terbuka sedikit .... Maria merintih .... kudorong lagi .... setengah dari kepala Hercules kecilku mulai menyelip masuk .... Maria kemudian menggelinjangkan pinggulnya dan kusambut usahanya itu dengan mendorong lebih jauh lagi .... perlahan-lahan kepala Hercules kecilku melesak masuk .... menerobos di antara celah pintu gerbang yang sudah mulai terbuka itu dan ... Tok-tok-tok ! Kudengar suara ketukan di pintu ! Oh shit ! Not now please, please, please, rutukku dalam hati. Ketukkan di pintu semakin keras kemudian terhenti.

Kedua mata Maria terbelalak, wajahnya memucat, dengan agak kuat ia mendorong dadaku. Ia memandangi pakaian di tubuhnya yang sudah tak keruan letaknya itu, kemudian dengan tergopoh-gopoh ia membenahi. Kubenahi juga celanaku. Maria kemudian membalikkan tubuhnya menghadap tembok sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Oh shit! Apes bener diriku, sesalku dalam hati. Hatiku gundah tak keruan melihat Maria bersikap seperti itu.
"Maria ...", panggilku perlahan.
"Don't say anything, please!", ia memotong ucapanku sambil menundukkan kepala dan mengibaskan tangannya.
"Ayo kita balik ke kantor deh", ajakku.
Akhirnya setelah membayar ke kasir, kami berdua keluar dari rumah makan itu. Kami bergegas berjalan ke mobilnya. Kuambil alih untuk menyetir. Selama dalam perjalanan di dalam mobil Maria membisu. Sesekali kulirik dari sudut mataku, ia menyandarkan kepalanya sambil jemari tangannya memijit-mijit keningnya, terkadang mengusap wajah dengan saputangannya.


sumber:meremmelek.net

No comments:

Post a Comment