Tuesday, June 5, 2012

It's okay to be fool

Halooo semua .apa khabar ?”, Nah itulah kalimat standart yang paling ngetop seluruh dunia untuk menyapa, gimana. gue cukup pinter khan untuk cari kalimat pembuka. huhahaha. Hihihi. senyum kecil itulah yang ada yang ada di otak gue waktu gue berusaha untuk menuliskan cerita ini. Senyum kecil itu juga yang merupakan pagar dari rumah kenangan gue yang gue simpen di hati, cieee.. Eh, tapi serius loh. Jangan pada ikutan ketawa, gue berusaha untuk buat kisah seru bukannya mau ngelawak nih, tapi gue emang senyum2 sendiri sih. huahaha.

Oh yah. Nama gue Alvi, pria 27 tahun. Hmm. gimana gue harus menjelaskan diri gue yah. hmm, kalian tahu khan. untuk buang angin yang ngga keliahatan aja, gue malu untuk sombong ke orang lain, apalagi untuk identitas gue yang keliatan. Jadi maaf yah, gue umpetin detail-detail khusus. Jadi jangan berusaha nebak2 yah walaupun ini kejadian nyata. Dan kalau berharap untuk kisah Superman main sex, kayaknya lebih bijak untuk click ke cerita yang lain. Ini cuma kisah nyata sederhana yang diceritain dengan sopan, setidaknya itulah yang bisa gue lakukan untuk menghormati kaum Ibunda gue.

“Sialan, lo cantik banget.huahaha.”. Iya, gue masih ingat kata2 spontan yang keluar waktu pertama kali kenalan dengan Zefanya. Anya seorang model dan banyak prestasi di bidang yang berhubungan dengan kecantikan (no list okay. ). Ngga. tidak seperti bidadari, cuma temen abang gue. Dan gue ngga macem2 dengan temen abang gue, kecuali nyoba untuk buat suasana yang akrab dengan membuat sambutan yang menyenangkan.

Amat disayangkan untuk penggemar fisikisme pasti amat tidak menyenangkan kalau gue ngga mampu ceritain tentang fisik Anya sedetail-detailnya. Lagian gue bukan tukang jahit yang bawa meteran kemana-mana. Tapi Anya setinggi dahi gue, dan tinggi gue 179. Gue akan buang waktu untuk mejelaskan kecantikannya. Sediakan saja syarat fisik wanita cantik idaman kamu, fisik Anya akan memenuhi syarat kamu diatas tiga perempatnya. Lupain kalau mikir langsung adegan ranjang, kalau langsung demikian, gue udah berangkat ke Hollywood gantiin Tom Cruise.

Untuk waktu yang panjang, gue sibuk ma diri gue sendiri demikian juga
dia.
“Ih hebat banget ada bunga yang bisa mencet bel.”, kata gue kepada
anjing gue, tapi sambil cuek bukain pintu buat Anya. Iya. sore itu Anya
muncul di rumah gue, sambil ngomong imut sekali juga senyum2 ma anjing
gue dari luar pagar. Dia suka sekali anjing, demikian ceritanya sambil
berdiri di halaman. Satu hal yang menarik adalah anjing yang dia miliki
adalah hanya seekor anjing kampung wanita, biasa saja bukan. Yang
penting adalah bagaimana merawatnya, bukan jenis apa anjing itu,
demikian penjelasannya. Anya sebenarnya ingin mengembalikan beberapa
barang yang dipinjamnya dari abang gue, tapi kebetulan abang gue tidak
ada. Kami jadi ketawa-tawa dan membahas bunga2 mawar dan bunga matahari
yang ada di taman gue. Gue emang kadang abdi rumah tangga, soalnya gue
khan cuma tinggal berdua satu rumah, jauh dari Ayahanda dan Ibunda.
Anya mengajakku untuk makan malam dan menemaninya undangan perkawinan
anak dari rekan bisnis ayahnya. Satu hal yang bikin kami ketawa
sepanjang malam itu adalah kami mengenakan satu warna yang sama, yaitu
merah maroon. Anya mengenakan gaun malam terusan yang menutup ketat
tubuhnya, sementara aku mengenakan kemeja merah maroon juga. Seperti
kembaran. Dan banyak orang2 yang menyapanya menanyakan hal itu. Tidak
ada cerita jorok, cuma menceritakan satu moment yang membuat kami dekat.
Oh yah, sebelum nurunin gue dari mobilnya, dia ngucapin terima kasih ke
gue untuk membuat dia tertawa dan tersenyum. Itu merupakan kombinasi
make up yang pas buat wajahnya katanya. Terus gue jawab juga, kalau gue
ini ada keturunan super hero juga, sama2 ngebasmi kesedihan dari muka
bumi ini juga. Gue ajak wanita yang sedih untuk untuk makan siang dan
membuatnya tertawa. Gitu deh kira2. Dan suatu kehormatan besar buat gue,
waktu dia tertarik untuk makan siang ma gue.
Kami akhirnya sering jalan bareng. Melakukan hal2 bodoh yang gue ajarkan
kepadanya. Hal2 tolol yang sebelumnya belum pernah ia lakukan dalam
hidup. Keluar kota hanya untuk curhat kepada seekor kebau, memandang
awan, mengunjungi dan berdoa ke kuburan seseorang yang ngga kami kenal,
berkebun bersama iya itu termasuk mengajarinya mencangkul, mencuci
mobilnya, mengajarinya melukis, berjalan kaki malam2 bersama anjingnya,
dia jago nyanyi. gue jago gitar, pas khan.
Sampai suatu saat gue bertanya-tanya ma diri gue sendiri. Apa bener gue
cowok yang paling tolol dan bodoh sedunia. Temen2 gue selalu mengatakan
hal itu tiap kali gue menjelaskan bahwa gue ngga ngapa2in ma Anya.
Bayangin waktu itu, gue ma Anya slow dance, tanpa musik, berdua di
kamar kost mewahnya. Hanya suara dia menggumamkan lagu2 tidur. Mata
indahnya terpejam damai, dan Anya seringkali menempelkan pipi putih
halusnya ke dada gue, bernafas di leher gue. Mulut halus dan hidungnya
ditempelkan lembut menyuarakan lagunya dengan terkadang membisikkan
khayalan-khayalan masa depannya.
Iya anda bener kalau bilang gue cowok tolol. Gue ngga ngambil tindakan
apa2 tuh, kecuali gue diemin tangan gue pinggangnya, cuma seringkali gue
nempelin pipi gue ke rambutnya untuk nyium aroma rambut Anya yang wangi
itu. Itu aja. herannya gue malah sibuk sendiri untuk ngatur langkah kaki
gue. cowok aneh khan. Gue terangsang banget, gue ngga munafik. Tetapi
selalu kepikiran bahwa gue bukan binatang yang ngumbar nafsu kapan dia
mau. Dan hanya karena gue terangsang, sungguh bukan suatu alasan yang
pantas untuk tidak menghormati wanita yang di depan gue.
Sampai suatu waktu gue dan Anya pergi ke perpustakaan besar bertingkat
di kampus gue. Semula tujuannya memang hanya untuk rileks sambil
ketawa-tawa ngebahas orang lewat dari tempat duduk sofa di ruang tunggu
perpus itu. Namun gue sempat mempertanyakan hal kebodohan gue sebagai
pria pada Anya. Yang memang kadang mengganggu.
Tiba2 saja Anya bangkit dari bersandar santainya, “Mana cowok yang
paling tolol sedunia itu ?”. Tanpa menunggu komentar gue dengan ekspresi
heran, Anya megang pipi gue dan mengecup gue di bibir. “Alviii. emang
kamu tolol banget, tapi kalau aku suka. terus kenapa ?”, tanya Anya
sambil memiringkan kepalanya dengan ekspresi nakal menantang, sementara
gue lebih sibuk untuk perhatiin orang2 yang ngeliat ke arah gue dan
Anya. Gue cuma cengar-cengir aja salah tingkah.
Kemudian Anya menyuruh gue diem dan menyuruh gue untuk menyimak. Anya
seakan bernafsu sekali untuk mengutarakan hal ini, sampai dia
membalikkan tubuhnya menghadap ke arah gue. “Dengerin. gue tuh bosen tau
diperlakukan seperti piala trophy. gue bosan diperebutkan”. “Cuma lo
yang terlalu bodoh untuk tahu bahwa yang ada di depan lo bukan piala.”.
“Orang bilang gue cantik. makasih. tapi asal lo tahu aja Vi, gue juga
kehilangan banyak temen hanya karena kecantikan itu. Okay gue malu dan
sebel untuk ngungkapinnya, tapi kalau pakai bahasa film, gue akan bilang
jangan benci gue hanya karena gue cantik.” Anya sedikit kembali
tersenyum kemudian melanjutkan isi hatinya tetapi kini agak melembut.
“Alvi. kamu masih inget waktu kita slow dance. gue sebenernya cuma
pengen nge test kamu . apa sih yang sebenernya kamu mau dari aku . Tapi
yah karena kamu bodoh waktu itu, kamu ngga aku tampar.”. Gue masih inget
jelas kata2 Anya seperti ini, walaupun diucapkannya dalam bahasa
Inggris. Sekilas mungkin berkesan sombong, tapi andaikata Anya yang
ngomong rentetan kata diatas, lalu membandingkan dengan kecantikannya,
gue tidak menganggapnya sombong.
Sepanjang sore itu Anya mengeluhkan banyak hal seputar masalahnya dengan
pria, cinta dan tentang kehidupan. Aku sendiri hanya menyediakan kuping
yang baik untuk mendengarkan.
Singkatnya, sepulang makan malam Anya ke rumahku yang kosong karena
Abangku pergi ke luar kota. Setelah aku mandi, Anya berniat untuk mandi,
karena memang ia selalu membawa pakaian cadangan dalam mobilnya. Aku
menunggunya dalam kamarku, dengan celana pendek dan kaos tipis baju
tidur. Tadinya aku pikir erotis sekali kalau mendengarkan suara2 Anya
mandi. tapi mikir soal ditampar lebih baik aku menunggu di bantal2 besar
kamarku sambil menatap bintang2 dari fosfor yang kutempel di atap
langit2 kamar. Bersender pada bantal di dinding, dengan lampu belajar
yang gue redupkan segelap mungkin melihat pada bintang yang menyala itu.
Bukan munafik, cuma gue lebih beranggapan kalau nyolong2 kesempatan
seperti itu sama saja mati kawan, atau seperti mencuri sesuatu dari
temen sendiri. Itu aja.
“Al.Alvi. “, panggil Anya lembut. “Kamu ngapain ?”, tanya Anya lembut
membuka pintu kamar. Gue hanya membesarkan lampu, kemudian memberi
isyarat untuk menyuruhnya duduk di karpet sebelah gue. Gue belaga acuh
dengan rok mini yang dipakainya dengan baju satin putih ketat tanpa
lengan. “Bagus khan.”, kata gue sambil melihat ke atas, sementara Anya
lebih sibuk untuk mengatur bagaimana agar bantal gue ngga basah dengan
rambut lurusnya yang setengah basah. Lalu tanpa mempedulikan gue, Anya
menyandarkan punggungnya ke dada gue, sambil mengambil satu tangan gue
untuk dibawanya melingkar di perut kecilnya.
“Lucu.”, katanya sederhana, sambil mengambil posisi santai untuk melihat
keatas dengan mengadahkan kepalanya di samping leher gue. Terus lama deh
kayaknya kita berdua bengong. Sambil cari bahan omongan, gue coba untuk
ngegombal iseng, biar buat lucu suasana. “Nya. aku sering nanya loh
kalau aku mau tidur. kira2 aku di bintang yang mana yah, kalau aku bisa
pergi ke bintang2 itu.”. “Hmm. kayaknya sekarang aku bisa jawab deh. mau
tahu dimana ?”, tanya gue tanpa menoleh. Anya hanya tersenyum menggemgam
erat jari jemari gue, lalu kayaknya ia penasaran juga, “Dimana Viii.”.
Gue cuma sok senyum imut cengar-cengir sendiri untuk ngeyakini bahwa
jawaban gue cukup norak tapi romantis. Hmm, gue jawab,” Disitu.”. Kini
Anya menoleh keheranan dengan jawaban gue. “Iya disitu Nya, si samping
kamu di salah satu dari bintang itu.” Gue sih ketawa ngakak, ngerasa
betapa noraknya gue. Tapi malah Anya hanya tersipu malu menunduk, lalu
merubah posisinya untuk mengelus halus pipi gue. Malah kini Anya memeluk
badan gue dan merebahkan kepalanya diatas bahu gue. Tangan gue hanya
bergerak spontan untuk menyambut jari2 halus di pipi gue itu.
Menggegamnya dan gue taruh lagi di pipi gue. Anya hanya memejamkan
matanya, dan gue yakin bahwa ia tidak tertidur karena jempolnya tetap
bergerak lembut mengelus pipi gue.
“Hmm. kamu ngantuk .?”, tanya gue sok lembut, sambil mengambil rambut
Anya dan menaruhnya kembali ke belakang telinganya. Anya hanya menjawab
tidak dengan pelan. “Kamu santai aja yah Nya. kalau kamu mau tidur. ya
tidur. kamu dapet kunci kok. terus kalau kamu nonton TV yah nonton.
pokoknya buat kamu sesantai mungkin. “, kata gue ngeranju. Jujur, gue
mulai bawel untuk nyerocos ngga karuan. Dada lembut halus lembut Anya
itu loh nempel hangat di dada gue. Paha putihnya ditumpuk di atas paha
gue. Jempol tangan mengelus halus di bawah telinga gue. Nah, gue sadar
gue salah tingkah berat, nyerocos sok perhatian dan basa basi ngga
karuan. Itu satu2nya pertanda gue bener ngga konsentrasi banget.
Sementara yang gue lakukan hanya berulang kali menaruh rambut di
telinganya dengan tangan kiri gue, sementara tangan kanan gue
mengelus-elus rambutnya yang tepat di samping kiri pipi gue.
Kata2 ngga jelas itu akhirnya berhenti tuh, waktu Anya pelan manggil
nama gue,”Alvi.”. Yang gue tebak sih kayaknya Anya juga ngga dengerin
deh omongan gue saat itu. “Vi. sebelum aku lupa. Anya cuma mau bilang,
Anya seneng ketemu kamu. Anya sayang kamu Vi.” Gue ngga jelas
rangkaiannya, tapi gue yakin kalimat itulah dan temen2nya sejenis
kalimat itu yang Anya ucapin dengan lirih manja. Betapa dia ngga pengen
kehilangan gue, betapa dia pengen bersama gue terus dan tebak sendiri
deh.
“Nya.Anyaaaa.”, gue coba nyebut namanya makin keras, gue tiba2 aja jadi
sebel sendiri gitu. Gue mulai ngebenerin duduk gue, sambil membangunkan
Anya dengan mendorong halus bahunya. Anya keheranan melihat sikap gue
seperti itu. Gue tahu itu pasti. “sst.”, gue melipat jari jemari gue
dan menyatukan kedua telunjuk gue di depan mulut untuk membuatnya diam.
Gue diem. “Biar aku buat sederhana untuk kamu ngerti .”. Gue jadi emosi
nih.
Kira2 gini yang gue bilang,”Anya.hmm. jangan bilang sayang atau cinta
ma aku deh. please.”, gue tatap memohon kepadanya. Sebelum dia sempet
bicara, gue potong dengan isyarat telunjuk gue untuk menahan protesnya.
“Sssst. Bagi gue, kalimat itu artinya sama dengan gue bakal kehilangan.
seseorang bakal pergi dari hidup gue. seperti tipuan menyenangkan dari
kalimat selamat tinggal. gue males ah. cape. dibohongin. Gue udah lama
berhenti untuk percaya kata2 itu.”. Sensitif yah gue. Gue belaga sok
asik aja nengok2 keatas. Sementara Anya kayaknya juga jadi serba salah
deh dengan menundukan kepalanya ke samping. Yah, jadi hening deh saat
itu.
“Hmm. okay, kalau kamu ngga pengen Anya ngomong gitu, Anya ngelakuin
sesuatu aja deh.”, kata Anya yakin. Anya merubah duduknya berhadapan di
samping gue. Ia menunduk memainkan jemarinya sendiri sesaat, sebelum
memajukan kepalanya untuk memeluk gue. Kepalanya direbahkan di samping
leher gue di sisi yang berlawanan dengan duduknya. Sementara gue hanya
membuka lipatan tangan gue, tanda orang pasrah. Melihat pada Anya yang
terpenjam tersenyum halus. Yang bisa lakukan adalah melipat kaki gue
untuk jadi sandaran tangan gue untuk menopang kepala Anya yang
dilemaskannya itu. Beneran deh, gue deg-degan. entah bingung atau ngga
jelas deh. Bayangin, bibir Anya tuh di bawah dagu gue dikit. Kalau gue
nunduk. pasti kejadian deh. pikir gue takut2 gitu.
“Yah. kalau Anya ngga boleh bilang sayang kamu. jadi Anya bilang aja,
Alvi yang sayang Anya. hiihihii.”, kata Anya merajuk pelan melucu.
Kayaknya strateginya berhasil deh untuk mecahin keheningan, buktinya gue
ketawa tuh. Tapi suasananya jadi hening lagi.
Gue tetep nyenderin kepala gue keatas. Tangan gue, yang jadi senderan
kepalanya, hanya ngelus-ngeluas rambutnya. Dan yang satu lagi, cuma gue
telungkupin aja di pinggang. Payah deh gue, kok gue mulai ngelantur
lagi, tapi kali ini serius sih maksud gue. Tapi beneran deh gue ngga
konsen abis. Soalnya jemarinya Anya loh yang satu itu ada di belakang
leher gue, dan jempolnya itu ngelus-ngelus belakang kuping gue juga.
Akhirnya gue ngucapin rangkaian kalimat ini dengan campur baur antara
gentle dan cengengesan sendiri, “Nya. sorry. aku minta maaf untuk kadang
bohong ke kamu. kadang aku ngga bisa jaga hormon. hmm. maksudnya. jujur
aku seringkali punya pikiran jorok ke kamu. hihihi. gue cowok, dan
seringkali aku ngga punya kuasa untuk nahan hormon2 gue lewat di otak
gue. maaf kalau aku ngga bener2 bisa jadi sesuatu yang baik untuk kamu.
Aku cuma pengen kamu tahu aja bahwa sebenarnya aku ngga pernah bermaksud
demikian. sorry okay.”. Anya cuma mengangguk dengan suara tersenyum
kecil.
Entah apa maksudnya, gue menurunkan kepala gue kebawah. Karena takut
kena bibir, gue aja yang langsung inisiatif nyium keningnya duluan. Anya
membuka sayu matanya. Lalu dengan gerakan pelan juga ia merubah
posisinya. Kedua jempolnya ditaruh dibelakang telinga gue, menatap
langsung mata gue tepat dari hadapannya. Semula gue kaget, tapi karena
gue lihat ada sekilas tarikan senyum kecil di ujung bibir tipisnya, gue
cuma bengong, nunggu kejadian berikutnya.
Gila. gila. gue deg2an banget. Gue sempet nundukin lirikan mata
kebawah, tanda gue kalah bertatapan dengan mata besarnya. Sorotannya itu
loh. Dia melihat, malah memperhatikan bola mata gue. Matanya bergerak ke
kiri dan kenan. Kadang sesekali di ngeliat ke bibir gue. Dia balik lagi
ngeliatin gue. Bibir bawahnya itu kadang digigit, dibasahinya bibirnya
atau malah dikatupkannya kedua dengan cepat. Gue mencoba menebak banyak
hal dengan cepat, gue berpikir, tapi kalimat jujur yang coba gue
ungkapan adalah gue ngga tahan banget untuk nahan gairah di perasaan
gue. Gue mungkin juga sama kacaunya sama dengan Anya, dalam detik2 itu
dalam jarak muka yang deket banget.
Anya melihat ke bibir gue, mungkin juga memiringkan kepalanya hanya
sedikit juga memajukannya. Namun kembali cepat ke posisinya palanya
semula. Walaupun semua gerakan itu mungkin hanya dalam hitungan milli,
tapi bagi gue itu merupakan bahasa yang mengisyaratkan sesuatu. Namun
sebesar gairah gue itu, sebesar itu pula ketakutan gue ditolak. Deg2-an,
gerakan kepala, mata yang mulai sayu menutup, mulut yang diam terkatup
lemas, hirupan2 nafas. entah apalagi. semua itu rasanya bagai sebuah
okestra keras yang nganterin kecupan pertama gue ke bibir Anya.
Sekilas ia sempat menunduk, Anya kembali terpejam. Gue sepertinya telah
melepaskan diri gue pada naluri. Gue sudah jadi hamba naluri saat itu.
Gue mengecupnya lagi dengan membiarkan bibir gue lembut menempel disana.
Adalah hal yang indah untuk diterima menjadi bagian dari orang lain. Dan
itu menyenangkan. Itu yang gue rasain waktu bibir Anya membuka. Gue
seneng untuk begitu besarnya rasa penerimaan itu.
Lidah gue ibarat anak kecil yang baru menyaksikan sebuah taman bermain
baru yang indah. Untuk pertama ia diam di sana, dan kemudian ia
menemukan teman bermain baru disana. Berkomunikasi dengan bahasa
sederhana yang jujur, dimana ngga perlu kuliah, ijazah dan uang untuk
bisa ngelakuin berdansa gembira dengan lidah. Sepertinya lidah itu ingin
saling berpelukan di dalam sana, saling menyambut dan ingin saling
bicara. Berusaha menebak, melayani, menyambut. Berkomunikasi dengan cara
yang baru yang menyenangkan, dan dalam. Sesekali saling tertunduk dan
melanjutkannya lagi.
Anya mengusap2 belakang kepala gue, dan tangan sesekali turun ke bawah
untuk menelapakkannya di depan dada gue. Dia bicara dari tekanan2 lembut
telapaknya dan usapan2 jemarinya itu. Jemari gue juga bicara lewat
usapan2 lembut di belakang telinganya. Sementara tangan gue berjalan
lembut dengan punggung jari, membelai, mengusap lembut pada perutnya.
Berjalan mengusap dengan ujung2 kuku, ke pinggang, menuju punggungnya.
Berputar pada bagian bawah lengan atasnya, berbelok-belok pada
ketiaknya, dan menuju jalan menurun di samping dadanya. Berjalan mundur
ke ketiaknya dan menikung tajam ke lehernya bagian depan. Gue
mengelusnya lama disana, sekali-kali menukik ke bawah, ketengah dadanya.
Gue cuma pengen nanya sebenarnya apakah jemari gue cukup berkenan untuk
menyentuh dimensi pribadi kewanitaannya yang halus menempel didadanya.
Ngga perlu orang jenius, untuk tahu Anya memberikan ijinnya ke gue saat
ia membusungkan dadanya. Tapi gue ngga mau jadi tamu yang nyelonong
masuk dengan kasar. Sepertinya basa basi yang menyenangkan jika gue
mengusap-usap lembut saja dari luar pakaiannya. Merasakan permukaannya
pada keduanya dengan halus. Baru setelah itu satu jari telunjuk memimpin
untuk mulai masuk ke balik bra berenda itu. Yah, kalian tahulah apa yang
dicari jemari gue di balik bra itu. Gue cuma bisa bilang bahwa
ngerasaain putingnya yang besar, tapi lembut, tidak mengeras seperti
permen kenyal. Cuma itu sih yang gue rasain, soalnya sedari tadi gue
lebih sibuk untuk berciuman. Kissingnya gue suka banget, dan gue lebih
nikmatin konsentrasi ke situ daripada ngobok-ngobok liar. Bahkan kini,
sekitar mulut gue agak dingin dengar air liur yang menguap. Tapi sebagai
cowok, kalau gue sih haus loh kalau ciuman kelamaan gitu, maksudnya yah
kering aja. Gue tarik tangan gue keluar untuk mengecup kening Anya,
sambil pamit sebentar ngambil minum.
Waktu gue kembali, Anya duduk di pinggir tempat tidur gue dan lampu
kamar gue sudah diterangkan. Sambil duduk di sebelahnya, gue menuangkan
air es untuknya. Sementara dia minum, gue mengambil bantal bersender di
ranjang. Anya duduk merapatkan dadanya di depan gue. Kajadian saling
mencumbu yang hampir serupa dengan diatas terulang hampir mirip
situsainya. Hanya bedanya kini Anya udah mulai berani untuk
menyelusupkan tangannya ke balik baju tipis gue. Jari lembutnya bermain
selancar di atas perut gue.
Dan gue seneng banget untuk dapet mainan baru. Sebuah gitar baru, yang
aneh bentuknya. Gabungan saxophone dan gitar, dengan kemampuan sangat
interactive sekali loh. Tapi saxophone-nya dikulum, sangat berdimensi
manusiawi, ngga kayak polygon di komputer 3D. Itu makanya jari gue
menikmati sekali untuk menelusurinya. Walaupun Anya masih seperti kado
yang belum dibuka. Gue senang untuk bersabar menikmati kemasan sebuah
kado sebelum membukanya. Bahkan sampai pada telapak kaki Anya, gue raba2
disana, bermain diantara jemari kakinya, memijat dan menggaruk. Bagian
yang terbagus dari dirinya adalah dia hidup. Hmm. bukan nyamain Anya
kayak barang, cuma berusaha untuk menggambarkan betapa ia begitu hidup
dan begitu nyata di pelukan gue.
Kini Anya mengatakan sesuatu lewat jari kelingking-nya yang sesekali
masuk terselip ke bawah karet celana gue. Entah gue peka dengan bahasa
kecil ini atau emang gue yang niat. Gue hanya mengangkat karet celana
gue dan membiarkan jemari Anya untuk menentukan sikapnya sendiri. Jemari
itu merambat halus untuk menuju sesuatu di sana. Sesuatu yang begitu
pribadi untuk dibagi.
Teramat banyak indera peraba di bagian pribadi gue itu, sampai2 gue
terhenti mengulum bibir Anya, ketika jemari itu melewati bulu2 yang
halus. Mata kami saling menatap, saat jarinya mengusap penis gue. Tapi
hanya diam tertelungkup diatasnya. Tanpa mengubah jemarinya, ia
menunduk.
Gue harus menetralisir keadaan yg cepet itu. Gue ucapin kalimat ini
dengan nada berbisik menjelaskan, yakin, lembut. dan rancu pasti deh
kayaknya, “Anya. Alvi ngga bermaksud untuk ngelukain kamu. ngga. santai
aja. ini `punya’ kamu kok, kamu bisa tutup kapan aja kamu mau. yang
pasti aku ngga bermaksud nge’luka’in kamu kok. santai yah sayang yah.”.
Lalu dengan satu gerakan yang singkat, gue melepaskan celana gue
melemparnya ke ujung ranjang, berikut celana dalam gue. Gue tahu Anya
menatap gue pasti dengan ketakutan. Tapi gue dengan cepat menebar
selimut tebal yang emang ada di ranjang gue, menutup dengkul gue,
setelah bersender kembali ke dinding ranjang di samping Anya. Gue bener2
mendiamkan diri gue, hanya tangan gue yang kembali mengelus rambut Anya
dari belakang. Gue membiarkan Anya untuk mengambil keputusan berikutnya.
Anya menundukkan kepalanya dan merebahkannya di leher gue. Jemarinya
membuat garis dari dada turun pelan dan berhenti di penis gue yang kaku
tertidur di perut gue. Gue ngga tahu persis apa yang ada di otak Anya
ketika meraba, mengusap, menekan, mencolek dan menggegam penis gue itu.
Sesekali juga ia menggesek-gesekkan jempolnya ke lubang air seni, ya itu
termasuk memainkan bagian biji zakar dan bulu2 halus yang mengitarinya.
Gue hanya berkali-kali mengangkat pantat gue, ketika sentuhan2 itu
membawa paket2 birahi ke otak gue. “Itu punya kamu sayang.”, demikian
kalimat yang bisa gue lontarin berulang-ulang. Gue ngerasa dia udah
begitu santai. Satu komentar yang dia ucapin cuma satu, “Besar.”.
Beneran dia cuma bilang itu, gue ngga bermaksud nyombongin kelamin. Gue
udah berhenti membanding2kan kelamin sejak gue sadar bahwa otak dan
perasaanlah yang bisa naklukin wanita, bukan dengan kelamin sebesar tugu
monas. Iya ngga sih ?
Walaupun gue tahu Anya menikmatinya, tapi gue pengen dia untuk ngga
bosen. Gue mengubah posisi untuk memeluk Anya dari belakang. Menata
rambutnya kesamping, lalu gue melepas baju gue sebelum menaruh bibir gue
tengkuknya. Disana banyak bulu halus yang berdiri. Yang perlu gue
lakukan hanya meraba bulu2 itu dengan lidah tanpa mengenai kulitnya.
Namun sesekali gue menjilat panjang dengan seluruh lidah basah gue, dari
leher bawah sampai ke belakang telinganya. Nafas hidung di telinganya,
jemari di perutnya, paha, pinggang belakang, bawah lengan dan ketiak.
Anya menengadahkan kepalanya keatas, sebuah tanda untuk memberikan
seluruh bagian lehernya. Tangannya membelai-belai rambut gue. Malah
kadang kini kedua pahanya yang dibungkus rok mini itu, sesekali membuka
lebar ketika jemari gue meraba pahanya. Tapi gue tetep ngga nyentuh
payudaranya apalagi selangkangannya, itu ada waktunya sendiri bukan ?
Anya ngga menolak untuk memudahkan gue melepas kaosnya. Ia seperti
terkulai lemah. Tapi gue sempet untuk melihat kerisihannya. “Aku cuma
pengen kamu santai. kamu rileks yah. tenang, aku ngga ngelukain kamu
kok. aku cuma pengen kita sama2 nikmatin. aku pengen kamu nikmatin dan
kamu `lega’ bareng ma aku. santai yah.”. Sambil membisikkan itu, gue
membelai-belai rambutnya, mengusap pipinya dan menciumi keningnya. Dan
aku lanjutin dengan menciuminya secara halus di bibir tipisnya. Mungkin
karena itu, Anya sama sekali tidak menolak untuk membuka penutup
dadanya.
Gue sendiri ngga yakin apa yang gue lihat tentang payudara itu. Sesuatu
yang menggelumbung tergantung menempel didada Anya. Gue kebingungan
mendeskripsikannya. Bagi gue sama aja kayak wanita normal. Cuma sesuatu
hal yang menarik dari buah kelaminnya, adalah bulu2 halu yang tumbuh
melebat di sekitar putingnya. Halus sekali. Titik pori2 yang halus
membesar ituu tersebar disekeliling putingnya. Anya menunduk malu,
sesekali melihat dan menatap reaksi muka gue. Gue cuma bilang disela
mengatup kedua bibir gue, “Hmm. makasih yah untuk jaga dan ngerawat
mereka buat gue. Gue senyum, dan Anya nunduk ketawa kecil sambil ngelus
pipi gue.
Kalian pasti tahulah, bagaimana sebagai pria, gue ingin langsung
mengrawuk buah2 itu. Untung sisi2 feminim dari maskulin gue
mengingatkan, bahwa dengan memperlakukan buah dada secara kasar bukan
tindakan seorang gentleman, kali loh. Ya udah, gue berusaha untuk
ngalihin perhatian gue, sambil gombal. “Hmm. aku tahu sekarang Nya
darimana keindahan `mereka berdua’ berasal.” kata gue sambil meraba
pakai ujung kuku pada lingkaran luar buah dadanya. “Hmm.” Anya udah
malas ngomong kali yah. tapi dia menatap gue. “Asalnya yah dari kamu.”,
jawab gue polos. Anya tersenyum, “kamu lucu.”. Kami ketawa. Padahal
dalam hati gue sempet pengen protes, “emang Srimulat. lucu..”. Tapi gue
batalin, karena gue lebih penasaran ma buah dada Anya.
Gue muter2in kuku gue melingkari buar dada itu. Gue seneng banget untuk
ngusap2 di bagian bawah buah dada itu. Tangan gue terus memainkannya ,
berganti kiri dan kanan, sementara gue terus mengelus rambut dan telinga
Anya dari belakang. Mungkin Anya penasaran kenapa gue ngga menyentuh
bagian putingnya. Dia sampai ngangkat2 dadanya, sesekali memutar
dadanya kiri kanan, agar jari gue tersentuh putingnya. Sedangkan
tangannya hanya mengusap-usap satu lengan gue, dan satu paha gue. Gue
akhirnya tahu dia nanya, karena dia 2 kali menatap bolak balik ke arah
gue terus ke arah dadanya tanpa ekspresi. Waktu dia ngeliat gue lagi,
gue garuk pelan agak tajam dari arah perut, naik ke payudara bagian
bawah dan langsung ke putingnya. Mau tahu reaksi Anya ? Anya langsung
merem, menengadahkan palanya ke atas, menarik nafas panjang di samping
leher gue. Ngagetin khan.
Setelah bermain seperti itu, gue mau muasin Anya pikir gue. Ngga ada
penolakan waktu membuka rok mini itu. Hanya karena Anya sudah agak malas
berdiri, atau mungkin bersikap manja. Anya hanya berusaha mengangkat
pinggulnya, dan gue menurunkan rok kecil itu. Celana dalam tipis putih
itu masih ada pada tempatnya.
Gue mengusap-ngusap perut Anya seperti ingin menghangatkan perutnya
dengan kedua tangan gue. Gue tahu Anya memperhatikan muka gue sambil
mengusap-usap belakang teling gue. Anya duduk bersender di dada gue. Gue
peluk dari belakang, tapi sambil bermain jemari di pusarnya. Sesekali
meraba paha bawah dan samping juga tengah. Gue ngebisikin kata2 ini
“Rileks sayang. rileks. Alvi pengen buat kamu `lega’. Alvi ngga
nge’luka’in kamu sayang.”. ( kalau2 dipikir2 lucu juga yah kalimat yah.)
Tapi hasilnya adalah otot paha Anya yang kini sudah rileks membuka.
Satu kalimat yang jadi ide bagus buat gue, untuk tema waktu itu adalah
kalimat Anya yang meniru gue. “Itu `punya’ kamu sayang. `punya’ kamu.”,
katanya berbisik lemah menggugah. Maksudnya yah, vagina Anya adalah
milik gue. aduh senangnya. Mau tahu yang gue lakukan ?
Satu tangan gue memainkan puting Anya dari belakang, sedangkan jemari
gue turun ke atas celana dalam Anya. Mudah untuk mencari asal lendir2
halus itu berasal. Ada belahan halus lembut di pangkal paha yang
membasah. Gue hanya mengusapnya halus dua arah. Tapi gue mebisikkan
terus menerus kata2 ini, ke telinga Anya. “Tolong Nya. buat punya Alvi
basah. tolong keluarin punya Alvi, sayang. please. tolong sayang.
tolong keluarin sayang. tolong. keluarin punya Alvi.” Bisikan yang
lembut tapi banyak artinya khan.
Pertama-tama Anya hanya bereaksi, sesekali mengangkat pinggulnya,
mengejangkan otot pantatnya. Namun lama kelamaan Anya mulai terpejam.
Tangannya makin lama makin kasar membelai kedua paha gue yang ada di
sampingnya. Dan Anya mulai menjawab berbisik pelan, “Iya. Iya. Anya mau
basahin `punya’ kamu. `punya’ kamu Anya basahin.” Nafasnya mulai keras
terdengar. Gue sempet ngegedein suara bisikan gue, jadi suara normal
kalau lagi ngomong. Dan Anya juga makin cuek bereaksi. Dia jadi
bervolume suara sekeras omongan biasa. Tapi saat2 itu rasanya seperti
suara teriakan.
Mungkin Anya sudah susah mengontrol suaranya, kalau ia menengadah
bersender pada lengan gue. Anya agak kuat bergerak, sehingga gue harus
menggeletakkannya pada paha gue dan tetap manahan kepalanya dengan
lengan. Sehingga kini gue juga kesulitan untuk membisikkannya. Ekspresi
Anya. ekspresi itu. bener2 ngga gue lupain. Mulutnya terbuka. Seringkali
otot2 pipinya menarik mulut kecil itu seperti ingin tertawa, namun
dengan ekspresi seperti hendak menangis. Matanya terpejam dengan kedua
alis yang sepertinya ingin dipertemukan diantara kedua matanya.
Beberapa rambut menempel pada pipinya yang kian membasah memerah.
Menoleh ke kiri dan berbalik ke kanan. Sayang sekali, andaikata mata gue
adalah sebuah kamera, itu adalah ekspresi yang diincer-incer fotografer.
Bukan buat diedarin loh. Gue cuma begitu terbawa banget ke dalam
gambaran ekspresi itu.
Gue bener2 amat tidak berfikir untuk mengeluarkan satu kosa kata ini,
“Please. basahin memek Alvi sayang.”. Gue pikir itu kasar banget yah,
ternyata Anya malah menjawab, ” Anya mau ngebasahin memek Alvi.”.
Kemajuan yang baik bukan untuk nakal2 dikit dalam sopan santun
percakapan kami. Semuanya amat ekspresif. Sampai suatu saat Anya, begitu
tampak bertingkah seperti orang yang menangis. Mengerang. Gue sampai
terdiam kaget, herannya tangan gue tetep ngikutin kemana arah
pinggulnya mengejang. Diangkatnya tinggi. Menarik pinggul dengan
mengangkat dadanya tinggi2. Cengkraman kuat pada paha gue juga tarikan
erat di leher gue. Ditambah dengan efek audio suara menangis sambil
mengejang tertahan. itu bisa membuat gue terangsang, hanya dengan
mengingatnya saja.
Gue ngerasa saat2 yang tinggi itu udah lewat. Iya bener loh, ngga sampai
muncrat2 sih dari celana dalam, cuma lebih basah dari yang tadi.
Banget. Gue cuma bisa ngebenerin rambut2 Anya yang basah menempel pada
wajahnya. Anya sepertinya lelah sekali dan bagi gue tampak Anya lebih
mirip tertidur saat itu.
Maka gue ambil bantal dan menidurkannya, sambil sebelumnya
mengecup-ngecupnya berkali-kali pada keningnya. Gue sendiri tiduran
disampingnya, mengamati wajah cantik itu. Mengelus-ngelus wajahnya.
Memperhatikan tubuh telanjangnya. Gue lebih konsentrasi untuk merekam
pemandangan itu, bukan mikirin kemaluan gue sendiri. “Makasih sayang.
untuk banyak hal. kamu udah ngasih aku kesempatan untuk ngebantuin.”.
Anya hanya senyum, ditengah mata sayunya. Mencubit perut gue. “Kamu
nakal.”.”Kamu jago sih.”, kata gue ngeles.”Kamu tuh jago.”. kata Anya
sambil ngambil posisi untuk meluk gue dari rebahannya.
“Eh, kamu kemana ???” tanya Anya, waktu gue tiba2 bangun berdiri. “Aku
mau nangis .”, canda gue, padahal sih gue cuma pengen ngambil minum
kali2 Anya haus. Setelah minum basa basi, Anya gue suruh untuk
terlentang lagi dan gue memandang tubuhnya yang masih berselimut kecil
sebuah celana dalam. Gue hanya senyum2 menatap matanya, sambil senyum2
berdua. Gue memangku dagu gue diatas kedua payudaranya, menatap sambil
tersenyum pada matanya dan kepada ujung2 putingnya. Lalu tiba2 gue punya
ide iseng aja.
Gue duduk disamping Anya yang terlentang. Jemari2 Anya gue pegangin
dengan jemari gue juga. Gue ludahin perlahan satu putingnya dari atas.
Perlahan jatuh air liur gue, menjadi sekumpulan air liur di payudara
lembut itu. Meludahi satu putting Anya yang lain. Air liur itu berjalan
turun perlahan. Namun sebelum sempat air liur mengalir turun ke bawah,
gue langsung dengan cepat menjilat kedua butir2 liur itu dengan telapak
lidah gue, sehingga menjadi basah buah dadanya.
Semula Anya agak keheranan menatap gue. Tapi lama kelamaan Anya mengerti
juga rupanya. Kami jadi sama2 tahu bahwa memang air liur akan membuat
risih jika terjatuh ke sprei ranjang gue. Oleh karenanya Anya hanya
menatap, tetapi jemarinya meremas erat ketika saat kritis, menyuruh gue
untuk cepat menjilatnya. Kadang ia juga memajukan dadanya untuk
mempermudah gue. Yang bikin nafsuin gue, kadang ia agak
mendesih.Sedangkan gue memperhatikan kedua mata Anya, selain
memperhatikan gumpalan2 air liur itu yang mulai mengalir. Anya
memperhatikan gue menjilati, sementara gue tetap memandangi saat
menjilati air lir gue. Sesekali kadang meniupi permukaan payudaranya
yang kini sudah basah semua. Kini perlahan gue mulai meludahi perutnya
juga bagian pusarnya. Kali ini gue sempet senyum2, soalnya perut itu
datar. Bahkan sempet gue ngeluarin gombal spontan yang kalau
dipikir-pikir norak juga sih,” Aku seneng banget kalau kamu sedang
nyihir aku kayak sekarang ini. mau terus dong disihir.” Anya sempet
ingin bangun untuk nge-kiss gue tapi gue menahannya dengan menggegam
tangannya.
“Keberatan kalau aku buka ?”, tanya gue polos, sambil nunggu jawaban
dengan kedua alis terangkat, dan senyum sok imut gitu di pipi gue. Anya
hanya menatap kosong ke gue, tersenyum kecil dengan megumpulkan kedua
bibirnya di depan seperti hendak mengingatkan gue. “Iya, itu berarti .
atau .?”, tanya gue sambil memberi isyarat menggeleng atau menganguk.
Anya ngerjain gue. Jawabannya cuma dia merem, terus senyum memiringkan
kepalanya saja.
Karena jelas gue ngga tahu jawabannya, dalam detik2 itu juga gue membuka
pelan celana dalam Anya, sambil menunggu reaksinya. Ternyata Anya tetap
terpejam dan mengangkat pinggangnya. Tetapi selebihnya Anya hanya
menggeletakan lemas kaki2nya, sehingga gue sempet agak kesulitan.
Barulah kini pemandangan Anya tanpa material penutup tubuh, telah
terlihat di depan gue. Sejenak gue sampai bengong gitu melihatnya, di
depan gue ada seorang model, polos, dengan paha terbuka di depan gue.
Beneran pikiran gue sampai sempet kosong, tidak tahu harus berbuat apa.
Vagina bener2 biasa saja. Bulu2 pada permukaannya hanya halus teratur
rapih. Gue tidak pernah menanyakannya, tetapi jelas sebagai seorang
model ia harus merapikan bulu2 itu, sok tahu gue sih Belahannya tidak
berbibir, hanya sebuah garis rapat tampaknya. Dengan kedua bukit pipi
mungil yang mengapitnya.
Gue baru sadar waktu Anya membuka mata menatap gue. Gue cuma bisa
senyum lalu menunduk sedikit. Gue salah tingkah banget. Tapi mungkin
Anya menganggapnya berbeda. Dia bangun dari posisi tidurnya, mengambil
dagu gue perlahan. Lalu ia terpejam, meraba pipi gue sambil berbisik,
“Vi. ini Anya.” Terus kami berciuman lembut, tidak menjadi buas.
Emang dasarnya gue aja kali yah yang nakal, gue mulai menurunkan ciuman
gue ke arah leher dada, menjilati ke dua buah dadanya. Tangan gue terus
meraba punggung Anya. Anya hanya bersandar pada keduan tangannya,
membiarkan gue memberi banyak kecupan basah pada dada yang bulat
mengacung ke atas itu. Mengindrai perut Anya dengan lidah gue, juga
menyenangkan untuk gue. Tapi lama kelamaan jadi ketebak deh arah dan
tujuannya. ya ke situ2 juga ujung2nya.
Saat jilatan2 lidah gue sampai ke perut bawah, di bawah pusarnya, Anya
mengelus halus pipi gue. Saat gue menengadah mencari tahu, Anya hanya
menggelengkan kepalanya sedikit. Suatu larangan bukan. Okay dalam hati
gue. Jujur, padahal waktu itu gue kepengen banget ngerasain
cairan-cairan yang keluar dari vagina Anya. Pengen banget.
Anya tetap menempelkan jemarinya di pipi gue, sambil ia sendiri mencari
posisi untuk tidur. Kutunggu Anya sebentar untuk sempat merapikan sebuah
bantal dan rambutnya sebelum ia menarik pelan belakang kepala gue untuk
bercumbu lagi dengan menidurinya. Ia menyambut dengan isyarat kedua
tangan terbuka, dan kedua paha yang dibuka untuk menyambut gue.
Gue merangkak pelan dari bawah, saling menatap kosong pada kedua mata
kami. Rambut gue dielus, dan sejalan dengan itu, tubuh gue
perlahan-lahan turun menindihnya. Ada tempelan kedua payudara hangat di
dada gue. Kemaluan lelaki gue semakin terasa hangat memanas diapit oleh
kedua perut kami.
Gue begitu menikmati suasana itu, entah sepertinya gue dan Anya hanya
bertatapan kosong. Arah mata yang hanya saling bergerak ke kiri dan ke
kanan melihat kepada mata gue dan dia. Tatapan itu bener2 dalam, dan gue
juga bener2 terbawa hanya karena tatapan itu. Dalam, iya itu kata yang
tepat. Gue bisa ngerasain dada Anya bergerak. Denyutan kemaluan gue yang
terapit itu juga bisa terasa pada perut kami.
Gue mengecup bibirnya sekali, lalu kembali menatapnya lagi. Anya hanya
menjalankan tangannya pada punggung gue, berjalan-jalan pada titik
keringat yang kian tersebar dimana-mana. Tangan kecilnya mencoba
mengcengkram bulatan pantat gue. Menggaruknya sekali-kali. Kami terus
bertatap seakan tidak peduli apa yang terjadi di bawahm karena kami
telah sama-sama mengetahuinya dari tatapan kami yang tanpa kata.
Bahkan kini Anya, menyelipkan tangannya diantara perut, menggenggam
penis gue. Gue hanya mengangkat pantat gue untuk memberikannya keputusan
ke Anya, mau dibawa kemana punya gue itu. Anya membawanya mendekati
kemaluannya. Penis gue sempat diraba-rabanya dahulu, bahkan sampai ke
bagian biji yang menggelantung disana. Kemudian penis gue diusap-usapkan
pada ujung kemaluannya. Beneran gue ngga tahu apa yang sebenernya gue
rasain waktu itu, soalnya gue hanya terus berpandangan tanpa pernah
melihat ke bawah.
Gue sempat memajukan pinggang gue agar sedikit masuk di dalam bibir
vertikal itu, namun Anya menahannya. Itu gue rasakan waktu tangan Anya
yang berada di atas pantat gue, tiba2 bergerak ke pinggang gue. Jadi
akhirnya ya, gue biarkan gue menahan pantat gue, agar Anya bebas bermain
dengan ujung penis gue yang emang besar pada bagian itu.
Tak lama setelah itu, Anya yang kian melebarkan bukaan pahanya. Dan
diatas pantat gue terdapat dorongan kecil dari jemari Anya. Secara
naluri gue memajukan sedikit pantat gue. Anya mengangguk kecil, seakan
menjawab pertanyaan mata gue ttg keraguan gue sendiri ttg kepastiannya
untuk melakukan ini. Gue hanya mengikuti bahasa Anya dari jemarinya yang
ada di pantat gue dan satu lagi jemari yang memastikan posisi kelamin
gue pada vaginannya.
Gue hanya merasakan kepala penis gue ditekan kuat pada seluruh
permukaannya secara merata oleh kelamin Anya. Dan diujung kelamin gue,
gue merasa agak dingin. Anya menekan pantat gue terus perlahan, dan
berhenti, kemudian mengisyaratkan menekan lagi. Gue hanya merasakan
melalui tatapan mata gue, beneran gue sama sekali tidak melihat
kemana-mana. Gue bisa ngerasain, Anya menarik nafas lewat mulutnya,
walau kadang seperti orang kepedesan dikit. Gue bisa ngeliat otot
pipinya cepat tertarik seperti tertawa yang dibatalkan.
Waktu sudah dapat dipastikan bahwa setengah kelamin kami saling
menyatukan diri, Anya kini buru2 menaruh kedua tangannya pada pantat
gue. Melebarkan jemarinya menelungkup pada bundaran pantat gue. Lalu
tangan itu mendorong pelan agak lama. Gue hanya mengikuti dorongan
jemari itu, dan hasilnya perlahan pasti semua kelamin gue telah masuk
bersatu dalam vagina Anya. Dan dalam detik2 itu, mata Anya memutih
meredup, meskipun tidak berkedip. Bola mata hitamnya menghilang keatas
yang mungkin kenikmatan.
Anya kembali lagi menatap gue dengan mulutnya yang terbuka tipis dan
sesekali dijilat. Satu kalimat Anya yang gue ngga lupa adalah, “Anya
ngerasa penuh ma kamu.” Gue ngga ngejawab, beneran gue ngga konsen abis.
Gue pengen banget langsung gue goyangin tuh pantat gue, wah pokoknya
doktrin gaya film porno di otak gue banget deh. Gue sendiri juga heran,
kenapa akhirnya gue tetep diem aja yah.
Tahu ngga apa yang bikin gue berhenti dari pikiran gue yang ngga2 itu.
tiba2 penis gue dijepit tiga kali ma Anya. satu dua tiga. Masih saling
bertatap, tapi jelas gue tahu apa yang dia lakukan barusan di bawah
sana. Dari tatapan gue seakan gue bilang, hayoo nakal yah kamu. Gue coba
narik penis gue, agak kerasa geli dikit sih, lalu pelan banget gue
masukin lagi. Sesuai tanda dari ibu guru gue yaitu tangan Anya yang ada
di pinggang dan pantat gue. Anya ngejepit lagi di bawah sana dua kali,
lalu gue inisiatif aja narik dan masukin pelan.
Lama-lama jadi konstan sendiri deh. Punya gue dijepit dua kali, lalu
keluarin dan masukin. Tapi kadang juga jadi ngaco juga sih. Anya juga
jadi jarang ngejepit-jepit lagi. Cuma tangannya aja yang konstan untuk
ngasih irama kapan gue harus menarik dan kapan gue harus memasukkan
penis gue. Gue jadi suka berimprovisasi, gue sekali-kali memutar
pinggang gue, sehingga ber-efek seperti memutarkan penis gue waktu masuk
ke vagina Anya.
Oh yah, seringkali pada saat melakukan ini, tiba2 pandangan gue jadi
ilang sama sekali. Tiba2 aja seperti gue ngga sadar, kadang seperti
hilang melayang. Kembali lagi untuk menatap mata dan wajah Anya. Wajah
Anya tuh nafsuin banget deh, kadang dia mandang kosong ke seputaran
wajah gue. Kadang ya itu dia sampai kayak orang teler sayu matanya dan
bola matanya menghilang ke atas. Mulutnya terbuka kalau sudah sepeti
itu. Dan saat-saat menatap, bibirnya terbuka kecil dan sering kali
dibasahinya berulang-ulang. Atau malah kadang ia mengigit kedua
bibirnya.
Yang paling gue suka banget adalah raut wajahnya yang tampak seringkali
seperti menangis itu. Mulutnya terbuka tanpa satu katapun, alisnya
demikian mengkerut, matanya sayu dan seringkali tertutup. Semula gue
kaget ngeliat ekspresi ini loh. Tapi lama2 gue tahu juga kalau itu
ekspresi dia. Gue juga heran, padahal ini ngga kayak film porn loh
iramanya. Bukan yang cepet2 gitu. Cuma pelan tapi konstan gitu, malah
kalau bisa gue bilang lebih lambat dari alunan kursi goyang. Yah, gue
khan cuma ngikutin perintah tangan yang ada di pinggang gue itu.
Gue ngga sempet ngitung berapa lama, gue terlalu dalam permainan saling
menatap itu. Lagian gue sepertinya tidak peduli waktu dalam hal seperti
itu, gue lebih mempedulikan seberapa dalam perasaan yang dibagi dan
saling memberi hati yang melayani. Bagi gue dengan posisi gue yang
berada di atas bukan berarti superior ttg kesombongan pria menjajah
wanita yang dibawahnya. Gue justru berfikir bahwa gue justru melayani
wanita. Itu makanya gue tetap berusaha untuk selalu mempertahankan irama
yang konstan. Walaupun jujur banget, bahu gue udah sakit banget. Gue
mengganti banyak posisi tangan untuk menopang tubuh gue. Bahu gue lama
kelamaan pegel banget sih.
Tapi dengan melihat wajah Anya yang merupakan gambaran kenikmatan dalam
menyatukan kelaminnya, gue jadi enggan berganti sikap. Gue juga pengen
untuk nyudahin permainan ini. Gue tahu bagaimana harus memulai sebuah
permainan, tetapi tanpa pengetahuan untuk kapan dan bagaimana berhenti,
itu juga bisa jadi celaka. Seperti mobil yang mampu mencapai kecepatan
maksimum, tapi tidak punya teknologi rem untuk berhenti, itu akan
mencelakakan. Gue ngga pengen cepet2 berhenti, bukan seperti layaknya
pria perkasa yang berpikir kalau bisa dua tahun yah dua tahun deh untuk
ngga ejakulasi. Gue memberi semangat untuk pada diri gue sendiri untuk
mencapai ejakulasi. Tapi gue juga bener2 kacau, bahu gue pegel banget.
Semakin gue coba untuk ejakulasi semakin gue ngga ngerasa apa2.
Pada saat-saat gue berpikir seperti itu, tiba2 Anya berbisik rancu, “Vi,
tolong lepasin `punya Anya’ Vi. keluarin `punya Anya’ Vi.” Ya, Anya
melakukannya lagi. Dia merasa seperti memiliki penis yang ada di tubuh
gue. Entah kenapa gue ngerasa terangsang banget. Erotis banget denger
dan bayangin maksudnya, bahwa gue kebayang aja memiliki penis Anya. Gue
sih nafsu saat itu, ngga tahu deh kalau yang lain. Udah gitu, Anya terus
ngulangin kalimat2 seperti itu sambil menatap sayu mata gue. Gimana ngga
tambah hormon gue naik ke kepala dengan kalimat2 seperti, “Vi. kontolin
Anya Vi. tolong. please. Anya penuh ma kontol kamu sayang. ” Ih, baru
denger gue Anya ngomong jorok gitu. Tapi kalau dipikir-pikir ngomong
jorok di tempat tidur tuh napsuin loh.
Gue hanya bisa menjawab dengan mulut yang lebih bersuara ngos-ngosan,
merapat dan meumpuk dada Anya, lalu memacu dengan irama yang cepat.
Banyak banget deh yang bikin gue horny berat. Selain Anya yang kini
merem dan menengadah ke atas, juga bunyi penyatuan kelaamin gue bisa
terdengar gitu. Lucu yah bunyinya. Lucu yah karena ada loh yang mirip2
suara buang angin. hihiihi. Tapi waktu itu, gue bener2 nafsu deh
pokoknya. Tetep aja gue ngga mau kalah untuk terus menatapnya. Soalnya
kosa kata dan wajah Anya bener2 udah ngga karuan sekarang. Antara
bicara, desahan, desisan, raut wajah menangis yang diulang-ulang.
Soalnya hal yang sama juga gue lakukan. Gilaaa. enak yah bersetubuh.
hihihihi. Bersenggama dengan saling menatap pasangan.
Ah, gue malu ngasih liat ekspresi muka gue. Gue menunduk disamping
kuping Anya. Gue mendesah kenikmatan di samping telingannya
terpotong-potong oleh desahan nafas yang memburu. “Alvi keluar sayang.
Alvi sayang kamu.” Kenapa juga gue pilih kalimat itu di saat2 seperti
puncak birahi gue. Detik-detik yang membuat kesadaran gue melemah dan
melayang. Gue cuma sempet denger Anya berbisik pelan, “Keluarin Vi. iya
basain Anya ma kamu. keluarin Vi. keluarin.”
Terus yang bersisa hanya desahan nafas yang mulai tertib. Anya masih
ingin tubuh gue diatasnya dan menikmati suasana ketelanjangan yg hening
itu. Di keheningan itu, gue masih sempet2nya aja inget, anjing gue belum
gue kasih makan. Eh, kalau hamil gimana yah. Males banget khan.
Gue mulai menidurkan diri di sampingnya, sebelum menarik selimut untuk
mengusir dingin. Anya seperti meringkuk ngantuk tersenyum. Gue mulai
ngelantur aja ah pikir gue, “Hmm. Nya. makasih, aku hutang banyak
perasaan untuk kebaikan budi kamu.”Gue kecup keningnya, tapi sebelum gue
sempet ngomong lagi, Anya menutup bibir gue, “Anya sayang kamu tau.”
sambil memeluk gue tersenyum dan terpejam. Setelah bengong lama ttg bahu
gue yang beneran pegel banget, gue juga sempet memikirkan kebodohan gue.
Kebodohan gue yang berbeda dengan pria lain dalam memandang bagaimana
memperlakukan seorang wanita. Bahkan gue sendiri juga ngga tahu kalau
ditanya Anya masih virgin atau tidak. Jawaban gue adalah, gue tidak
peduli. Kadang gue pikir lucu juga, gue jarang berpikir jorok untuk
mendapat kehormatan meniduri Anya, tetapi Anya kini di samping gue
tertidur.
Mungkin ini hadiah atau justru malah sebuah karma. Gue ngga pernah nemu
di pasar ttg kalung keberuntungan dalam hal bercinta. Nasib cinta gue
ma Anya bubar juga karena di luar faktor kami berdua. Cerita cinta
sederhana dari sebuah titik kehidupan, dan tidak berakhir dengan happy
ending. Tapi siapa juga yang butuh happy ending, karena gue tahu kisah
gue ngga berakhir hanya karena kami ngga pacaran lagi. Walau kadang gue
pengen berhenti untuk percaya bahwa kata-kata `gue sayang lo’ adalah
lebih tampak sebuah kalimat perpisahan yang tertunda.
Gue realistis dengan ngga bilang gue masih mencintainya, tidak. Gue cuma
bilang, gue sering memikirkannya di saat2 tertentu. Bukan karena gue
nidurin dia, bukan juga karena dia model. Cuma dia yang menyakinkan gue
dengan rentetan kalimat2nya, yang gue terjemahin. kira2 gini.”Kamu tuh
nyenengin tau kalau lagi bodo.” atau “Alvi.Udah terlalu banyak pria
pintar di dunia ini . sampai mereka semua kadang tidak tahu lagi
bagaimana harus membodohkan dirinya.”. Atau kadang dia senyum2 sok
antusias berfilosofis, “Aku buat logika sederhana. ( dengan mulut
dimonyongkan, kesan angkuh sambil mengangkat telunjuknya ke atas serasa
dapet inspirasi surgawi.) Untuk pintar kita harus bodo dulu, dan untuk
menjadi bodoh kita yah harus pintar dulu. berarti kamu tuh.”, katanya
tersenyum menunggu komentar gue.Gue teriak “Tidaaakkk.” lalu berhambur
lari menghilang bercanda.
Gue mengenang hal2 bodoh seperti itu. Bahkan sampai sekarang, gue sering
tersenyum dalam hati bahwa nyenengin juga jadi pria bodoh. Yang pasti
itu melepaskan segala beban ttg idealisme bagaimana menjadi seorang
pria. Bayangkan, saat di mall, ada wanita cantik dan gue ingin tahu saja
namanya. Gue bisa dengan bodohnya berkata, “Mbak, sorry saya ganggu,
saya tahu waktunya amat tidak tepat juga tidak sopan. saya hanya ingin
berkenalan ma cewe tapi ngga tahu caranya.punya ide ? saya merasa. (
gue jelasin segala ketakutan gue ) . emang sebenernya gimana sih cara
yang gentle untuk itu ? ( sempetin lah tanya namanya. ). ( Gue perhatiin
banget kalau ada tanda2 penolakan, lebih baik lepasin lah permainannya.
)Lalu setelah selesai, gue puji2 ide dia itu seburuk apapun jawabannya,
lalu gue bilang gue mau pulang. “Loh katanya mau kenalan, kok pulang. ?”
“Khan saya udah tahu nama kamu. “, kata gue ngeluyur pergi sok manis.
Emang cuma itu doang sih mau gue, bukan mau tidur ma tuh cewe. Kalaupun
tujuan lo untuk itu yah gue punya lah kesempatan lebih besar. Kelak gue ketemu lagi, nilai kesan pertama gue tuh udah punya rating tinggi. Tebakan gue doang sih.. Kalau ketemu lagi syukur, ngga ketemu ya udah. Kalaupun gagal, gue paling ngetawain puas diri gue, apa juga diharapkan dari seorang bodoh seperti gue ini. huahaha. sederhana khan.

Dari 10 kali, 7 kali gue jadi temenan, dua kali jelas ketolak, satu lagi ternyata ada suaminya tuh.Hihihii. It’s fun, isn’t it ? Remember guys.”sometimes. it’s okay to be fool.”






sumber:www.krucil.com

No comments:

Post a Comment